Jumat, 25 Oktober 2013

Bersalaman Dengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahrom, Berdosakah?


Permasalahan berjabatan tangan dengan lawan jenis yang bukan mahrom termasuk pembahasan yang cukup banyak dikaji dalam tema-tema kajian Islam, termasuk negeri kita Indonesia. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang membolehkan dengan syarat, bahkan sebagian lagi membolehkan dengan gampangnya.Tulisan saya kali ini bukan dalam rangka untuk memberi kata putus untuk perbedaan pendapat dalam persoalan ini, sebab saya bukanlah ‘ulama mujtahid yang berkapasitas membuat kesimpulan hukum. Namun catatan kecil ini sekedar untuk berbagi pengetahuan tentang pembahasan para ulama Islam mengenai hal ini supaya kita bisa membuka cakrawala berpikir dan bersemangat mengkaji Islam sesuai pengahayatan Quran & Sunnah Rasulullah.
Perbedaan Dikalangan Ulama Madzhab
Ulama Mazhab Hanafi
Membolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari munculnya syahwat dari kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga mereka membedakan antara yang tua dan yang masih muda. Berdasarkan kemungkinan munculnya syahwat.
Ulama Mazhab Maliki
Melarang secara tegas jabat tangan dengan yang bukan mahrom, dan tidak membedakan antara yang sudah tua maupun yang masih muda.
Ulama Mazhab Syafi’i
- Sebagian Syafi’iyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya benda yang melapisi dan aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang mengarah pada perzinaan.
- Sebagian lagi melarang secara mutlak, dan ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyyah. Di antaranya adalah Imam An Nawawi dan Ibn Hajar al ‘Asqalani.
Ulama Mazhab Hambali
Sebagian ulama madzhab Hambali melarang secara mutlak tanpa membedakan antara yang muda atau yang tua, sedangkan yang kedua memakruhkan jika dilakukan dengan yang sudah tua.
Rasulullah Tidak Pernah Berjabat Tangan Dengan Wanita
Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahrom)ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357)
A’isyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Demi Allah! Tangan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan” (HR. Al Bukhari, 7214)
Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika bai’at.” (HR. Ahmad 2/213)
Hadits-hadist diatas menunjukkan bahwa bai’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen bai’at. Hal ini bisa dipahami melalui dua alasan:
Pertama, Karena Bai’at adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Jabat tangan dalam bai’at adalah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam momen bai’at. Namun demikian, Rasulullah menolak untuk berjabat tangan dengan wanita. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi Rasulullah untuk tidak melakukan jabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom.
Kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertaqwa pada Allah, sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya nafsu jahat dalam batin beliau jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya syahwat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidak ada. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita bukan mahrom. Semua ini menunjukkan bahwasanya bagian dari syariat beliau adalah tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom.
Walhasil, berdasarkan nukilan Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi: “Ulama sepakat bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahromnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus segala perselisihan apakah Nabi pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Rasulullah berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahrom”
Jika Suatu Perbuatan Ditinggalkan Nabi, Apakah Berarti Haram Untuk Kita?
Para Ulama ushul menjelaskan bahwa sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak, tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.
Al-Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammeninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (Al Ushul, 1/210)
As-Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya  untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunnah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammeninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.
Hadis-Hadis Yang Dengan Tegas Melarang Jabat Tangan Dengan Lawan Jenis
Pertama, Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)
Hadits ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’, dari Ma’qil bin Yasar dan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya dari para ulama tentang status hadis ini:
Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (Az Zawajir, 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (Al Majma’uz Zawaid, 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (As Shahihah, 1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu hadis saja dalam shahih Muslim.”
Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap Tsiqah perawi ini.
Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “Shaduq namun  hafalannya agak rusak.”…
Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf, Ma’qil bin Yasar mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahrom. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayatSyaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.
Kedua, Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti dia alami dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Muslim 6925)
Pembahasan mengenai hadits ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan elihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya” (Syarh Shahih Muslim, 8/457)
Sedangkan pada (16/316), An-Nawawi menjelaskan: “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”.
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadits adalah pernyataan pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al Qur’an, 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan. Maka jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahrom dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena  perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.
Kesimpulan:
Hadits-hadits yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahrom tidak cukup untuk menghukumi haramnya berjabat tangan dengan wanita. Karena semata-mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh.
Adapun jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahrom dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena  perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.

“Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”(QS. An Nisa’: 59)


1 komentar: